PENDAHULUAN
Teluk Banten merupakan kawasan tangkapan ikan (fishing ground) penting di wilayah Utara Provinsi Banten, kawasan ini menjadi gantungan hidup nelayan dari 7 (tujuh) kecamatan di pesisir Kabupaten dan Kota Serang, dengan jumlah nelayan mencapai ± 15.615 orang (sumber: Kabupaten Serang dalam angka 2004), dengan produksi ikan tangkap rata-rata mencapai ± 15.000 ton per tahun atau ± 60% dari produksi ikan tangkap Kabupaten Serang. Nelayan Teluk Banten menggunakan beragam jenis alat tangkap, mulai yang ramah lingkungan sampai dengan yang merusak lingkungan, akan tetapi masih banyak diantaranya nelayan menggunakan perahu-perahu kecil dengan alat tangkap sederhana yang beroperasi di pesisir pantai.
Kawasan Teluk Banten merupakan kawasan perairan yang cukup ramai, disamping disibukkan dengan berbagai aktivitas nelayan. Kawasan ini disibukkan pula oleh lalu lalang kapal-kapal perdagangan antar pulau dan kapal-kapal dengan muatan bahan baku untuk mendukung industri di sepanjang garis pantai Teluk Banten, yang jumlahnya lebih dari 17 industri untuk kimia dasar dan industri berat lainnya, industri yang juga berpotensi untuk mencemari kawasan perairan Teluk Banten dengan buang limbahnya.
Sebelum pemerintah melakukan kebijakan untuk mengontrol secara ketat perdagangan kayu antar pulau di Indonesia, untuk menekan illegal logging. Pelabuhan Karangantu merupakan pelabuhan yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan bongkar muat dan perdagangan kayu, puluhan kapal dari berbagai pulau di Indonesia membuang sauh di lepas pantai Karangantu menunggu air pasang untuk memasuki pelabuhan atau menunggu giliran untuk membongkar muatan. Kesibukan pelabuhan yang sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, pada saat Kerajaan Banten mencapai masa keemasan pemerintahannya.
Keterbatasan lahan untuk kepentingan industri telah mendorong reklamasi pantai di di garis pantai Teluk Banten, terutama di wilayah Kecamatan Pulo Ampel dan Bojonegara. Beberapa lokasi reklamasi ditenggarai telah merusak, bahkan menghilangkan kawasan hutan mangrove dan padang lamun (sea grass) yang luasnya tidak lagi seberapa dan cenderung menyusut. Kegiatan reklamasi tidak saja menjadi ancaman serius bagi habitat mangrove dan padang lamun, tetapi diperkirakan telah merubah karakteristik dan dinamika arus Teluk Banten. Hal tersebut ditandai dengan adanya kawasan-kawasan pantai yang tergerus gelombang (abrasi) mulai dari kawasan Tonjong Desa Terate sampai dengan Desa Banten, dengan kawasan yang hilang diperkirakan telah mencapai ± 50 Ha selama kurun waktu 10 tahun terakhir.
Masalah tersebut akan menjadi sangat serius dan menjadi ancaman bagi eksistensi Teluk Banten, apabila tidak segera terbangun kesadaran bersama untuk melakukan pengelolaan Teluk Banten dengan cara-cara yang mengedepankan keseimbangan kepentingan, antara ekologi, sosial dan ekonomi. Keterbatasan lahan untuk industri telah mendorong oknum-oknum masyarakat untuk memetak-metak kawasan pesisir laut, bahkan PT. Batu Alam Makmur (BAM) perusahaan penambang batu di Bojonegara telah membangun kawasan industri (industrial estate) baru dengan reklamasi laut dari hasil kupasan gunung batunya seluas lebih dari 35 Ha.
Kegiatan reklamansi yang dilakukan BAM, dari sisi hukum bisa jadi merupakan kegiatan yang legal, karena memiliki berbagai ijin dari pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten Serang maupun Pusat. Tetapi ketidak hati-hatian pemerintah dalam memberikan ijin tersebut, tidak saja melegalkan kegiatan reklamasi BAM tetapi juga memberikan akses kepunahan hutan mangrove dan padang lamun di kawasan tersebut. Sementara menurut Prof. Dr. Ruchmin Dahuri mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, yang juga merupakan pakar kelautan bahwa ada korelasi yang kuat antara turunnya produktivitas perikanan laut dengan kerusakan habitat mangrove, padang lamun dan terumbu karang (coral reef).
Upaya untuk membangun kesadaran dan mengingatkan pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Serang atas kebijakan yang tidak hati-hati tersebut, sudah dilakukan dengan berbagai cara. Upaya terakhir dilakukan dengan mengajak berbagai instansi pemeritah yang terkait dengan perencanaan pembangunan, penegakan hukum, investasi dan lingkungan untuk melakukan peninjauan secara langsung di kawasan reklamasi tersebut. Namun sampai dengan hari ini upaya tersebut seperti tidak merubah apapun, meskipun ditemukan banyak pelanggaran. Pemerintah Kabupaten Serang tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran tersebut, padahal padang lamun di kawasan perairan yang telah direklamasi BAM, merupakan habitat padang lamun yang paling baik di Teluk Banten.
Hal yang sangat ironis, karena setiap Pemerintah Kabupaten Serang membuat seremonial peringatan Hari Lingkungan Hidup, kata-kata ’mari kita jaga lingkungan hidup, mari kita lestarikan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan’ seperti kata-kata ajaib yang wajib ada dan disampaikan pada pidato, mulai dari Ketua Panitia, Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) sampai dengan Bupati Kabupaten Serang. Kata-kata yang ternyata tidak lebih dari kata-kata yang diucapkan tanpa jiwa, karena tidak mewarnai dan menjadi landasan tindakan dan kebijakan pembangunan dan degradasi lingkungan seperti bukan persoalan yang harus diwaspadai dan diantisipasi, agar pembangunan dapat terus berkelanjutan tanpa pernah kehilangan daya dukung lingkungan itu sendiri.
Sulit dibayangkan nasib 15.615 orang nelayan dan dengan anak serta istrinya , apabila degradasi lingkungan di Teluk Banten terus terjadi akibat pemerintah memprioritaskan sektor industri, tetapi mengabaikan sektor perikanan (tradisional) dan tidak melakukan tindakan secara konkrit dan komprehensif untuk mencegah degradasi lingkungan Teluk Banten. Apalagi bila rencana pembangunan pelabuhan Samudera Bojonegara direalisasikan, tekanan nelayan dan/atau sektor perikanan akan menjadi lebih besar. Apabila pemerintah tidak segera merencanakan dan menetapkan akses dan tata ruang yang jelas, bagi kepentingan sektor tersebut.
KEPEDULIAN
Dari sejumlah industri yang ada di garis pantai Teluk Banten, paling tidak ada 2 perusahaan yang telah menunjukkan kepedulian dalam upaya pelestarian Teluk Banten, dengan menanam mangrove dan merehabilitasi padang lamun. Itikad baik seperti yang telah dilakukan oleh dua perusahaan tersebut seyogyanya juga dilakukan oleh perusahaan - perusahaan lain, agar keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi di Teluk Banten dapat terus terjaga. Dan inisiasi-inisiasi seperti yang telah dilakukan oleh dua perusahaan tersebut, seharusnya juga mendapat apreasiasi dari pemerintah, seperti halnya mereka mendapat peringatan bahkan sangsi, apabila mereka melakukan sesuatu yang dianggap melanggar aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kedua perusahaan tersebut, adalah:
PT. Bermis (Bernas) Madu Sejati (BMS)
Pada periode tahun 1999 – 2001, BMS pernah melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove di garis pantainya, yang rusak akibat kegiatan produksinya. Kawasan hutan yang direhabilitasi seluas ± 1,1 Ha, dengan total dana yang dihabiskan untuk merehabilitasi hutan mangrove tersebut ± Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Jumlah dana yang sangat besar, apabila dikaitkan dengan luas hutan mangrove yang direhabilitasi dan jumlah dana yang luar biasa besarnya apabila kita berfikir dengan landasan prinsip dan hokum ekonomi ortodok, yang hanya menghitung keuntungan (profit) ekonomi dari proses produksi, tanpa mempertimbangkan manfaat (benefit) dari proses produksi itu bagi kita dan masyarakat luas.
Tingginya biaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, disebabkan oleh peningkatan kadar garam (salinitas) air laut secara tiba-tiba, akibat gagalnya system instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan kegagalan system pendinginan air (cooling water) yang menyebabkan meningkatnya suhu air laut secara signifikan. Sehingga mangrove yang telah ditanam dan memiliki harapan tumbuh dengan baik, kemudian menjadi meranggas dan mati. Penanam ulang (replanting) kemudian dilakukan berkali-kali dengan menggunakan berbagai ujicoba dan cara, agar mangrove yang ditanam dapat bertahan hidup (survive) dari kedua pengaruh tersebut di atas.
Kebijakan General Manager BMS pada saat itu, Bapak Budi Purwanto untuk mengembalikan hutan mangrove di garis pantai BMS, walaupun dengan jumlah biaya yang tidak lagi masuk akal untuk luas 1,1 hektar. Merupakan sikap yang seharusnya menjadi inspirasi bagi banyak orang, untuk terlibat secara aktif dan secara sadar berbagi peran dalam upaya pelestarian Teluk Banten.
PT.Apexindo Pratama Duta Tbk
Pada periode tahun 2006 – 2008 pt Apexindo Pratama Duta Tbk, melaksanakan penanaman mangrove seluas 20.000 m2 dan merehabilitasi padang lamun seluas 16.000 m2 di pesisir dan perairan Teluk Banten. Pada awalnya penanaman mangrove dan upaya merehabilitasi padang lamun merupakan realisasi dari pernyataan Apexindo yang dituangkan dalam dokumen pengelolaan lingkungan, yang harus menjadi tanggungan Apexindo karena melakukan reklamasi pantai untuk pembangunan Depo Induk di Desa Margagiri Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang.
Saat ini mangrove yang ditanam pada September 2006 tersebut rata-rata sudah memiliki ketinggian antara 1,50 – 2 meter, sedangkan rehabilitasi padang lamun yang pelaksanaannya dilakukan ahli lamun P2O LIPI mengalami kegagalan karena factor alam yang sulit diprediksi, namun dari sisi penelitian kegiatan rehabilitasi lamun tersebut menemukan hal-hal baru yang sangat bermanfaat dan dapat menjadi referensi pengembangan padang lamun di masa-masa yang akan datang.
Pada awalnya upaya penanaman mangrove dan rehabilitasi padang lamun, bisa jadi dilakukan Apexindo karena terpaksa, hanya untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam dokumen lingkungan. Tetapi hal itu menjadi berbeda ketika beberapa hari yang lalu Presiden Direktur pt Apexindo Pratama Duta Tbk, Bapak Herdiono Kartowisastro di depan para peserta Apexindo Golf Tournament di Padang Golf Jagorawi, yang terdiri dari perwakilan perusahaan - perusahaan minyak besar dan penting yang beroperasi di Indonesia, mendeklarasikan bahwa Apexindo akan melanjutkan program penanaman mangrove di Teluk Banten untuk periode 2008-2010 dengan kawasan yang akan ditanam seluas 30.000 m2.
PENUTUP
Persoalan degradasi lingkungan Teluk Banten merupakan masalah yang harus ditangani secara bersama-sama, inisiasi dan partisipasi BMS dan Apexindo dalam pelestarian Teluk Banten belum cukup untuk bisa menyelesaikan persoalan yang ada. Oleh karena itu disamping kepada perusahaan-perusahaan lainnya yang ada di garis pantai Teluk Banten, untuk juga melakukan hal yang sama. Harapan besar tentu kepada pemerintah untuk segara melakukan penataan dan penetapan kawasan konservasi dan eksploitasi Teluk Banten, disamping untuk melindungi kepentingan nelayan juga untuk melindungi upaya konservasi itu sendiri.
Walau bagaimanapun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian mangrove, padang lamun dan terumbu karang masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan peran dan upaya pemerintah lebih serius melakukan upaya pelestarian, tidak ada lagi menanam mangrove terus dilupakan pada masa-masa yang akan datang. Tidak ada izin reklamasi baru, sebelum pemerintah membuat kajian komprehensif tentang kondisi Teluk Banten.
Pemerintah harus segera menentukan sikap dan membuat grand design dari rencana strategis pengelolaan Teluk Banten, atau kemudian kita tidak memiliki apa-apa lagi untuk melanjutkan pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Pembangunan ekonomi, seperti halnya pemanfaatan sumber daya alam merupakan pilihan yang harus diambil agar kita tidak menjadi miskin. Tetapi percayalah pembangunan ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam yang mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan akan berujung pada kemiskinan pula. BMS dan Apexindo sudah memulai dengan mewujudkan upaya pelestarian Teluk Banten… lalu siapa mau menyusul (suwung, 31 Agustus 2008)
saya sebagai pemuda yang berada di wilayah teluk banten sangat prihatin dengan kondisi pantai di teluk banten sekarang ini,sebab telah berkali-kali di lakukan penanaman dan penyemaian mangroove di sekitar teluk banten tanpa melibatkan masyarakat sekitar,padahal jika masyarakat ikut serta dalam penanaman tersebut bukankah akan lebih baik lagi...dan mereka pun memiliki rasa menjaga atas apa yang telah mereka upayakan demi terjaganya pesisir pantai teluk banten ini.kami pun pernah melakukan penyemaina dan penanaman mangroove pada tahun 2004 dengan volume 10.000 batang.....yang kesemua kami kerjakan atas dasar kebersamaan dan rasa memelihara lingkungan,kami telah pelajari bagaimana penanaman2 yang slama ini di lakukan di sekitar teluk banten dan faktor penyebab kegagalannya......ke semua itu ta lain dan ta bukan hanyalah sebagai sarana proyek semata tanpa menimbang ke depannya akan seperti apa proyek itu..../.
ReplyDeleteMungkin perlu juga dikumpulkan para peneliti baik di untirta, IPB atau universitas lain. Diskusi atau ngobrol santai via zoom. sehngga diketahui up date data terbaru teluk banten dengan segala aspek, terutama perairan dan perikanan dan wisata. semangat pak ketua
ReplyDelete