Kehidupan manusia dengan segala hal yang dihasilkan dari interaksi social, budaya dan ekonomi melalui rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi, pada akhirnya berujung pada sampah (waste), yaitu material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses (Wikipedia Indonesia), apakah itu dalam bentuk gas, cair atau padat, apakah kemudian bersifat organic atau unorganik.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memanfaatkan sumber daya alam telah mendorong tata cara kehidupan manusia menjadi semakin maju dan cenderung mudah, sementara pergaulan antar manusia tidak lagi mampu dibatasi oleh batas – batas negara dan budaya, proses saling mempengaruhi antar bangsa di planet bumi ini telah melahirkan inkulturasi budaya dengan kecenderungan meniru negara dan bangsa yang dianggap lebih maju. Padahal negara dan bangsa tersebut terkadang hanya menjadikan bangsa di negara – negara miskin dan berkembang, sebagai pasar dan ujicoba dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka hasilkan dan miliki.
Setelah plastik ditemukan oleh Alexander Parkes pada tahun 1862, hampir seluruh perlengkapan peradaban manusia menggunakan bahan dasar plastik. Mulai dari perlengkapan rumah tangga sederhana, sampai dengan perlengkapan penunjang peradaban berteknologi tinggi. Inovasi tersebut telah merubah budaya dan prilaku manusia di planet bumi, disisi lain kelangkaan lahan dan waktu yang relatif panjang untuk budidaya berbagai tanaman guna memenuhi kebutuhan peradaban manusia tersebut, telah mempercepat dan memperluas penggunaan plastik di muka bumi. Padahal penggunaan plastik dalam berbagai kepentingan, telah menjadikan bumi sebagai tempat sampah raksasa karena ketidak mampuan struktur alamiah bumi dalam mengurai plastik menjadi komponen terlarut.
Plastik merupakan satu jenis sampah yang dihasilkan dari proses aktivitas manusia, dari banyak jenis sampah yang mulai menjadi pesaing manusia dalam menempati ruang ketika lahan semakin terbatas dan mahal. Sehingga bukan lagi pemandangan yang aneh ketika ada komunitas masyarakat, yang biasanya miskin membangun permukiman di sekitar areal pembuangan sampah akhir (TPA). Komunitas itu bisa jadi membangun permukiman di kawasan tersebut karena memiliki usaha yang berbasis pada limbah (sampah yang masih memiliki sisa nilai ekonomis), tetapi juga tidak tertutup kemungkinan tinggal di kawasan tersebut karena tidak adanya pilihan lahan lain sebagai tempat untuk bermukim.
Secara teori manusia menghasilkan sampah antara 1,20 – 2,00 liter per hari dan penduduk di Provinsi Banten menghasilkan sampah rata – rata 1,78 liter per kapita per hari, bila populasi penduduk di Provinsi Banten saat ini berjumlah ± 8,26 juta jiwa, maka tidak kurang 14,73 juta liter sampah dihasilkan per hari atau setara dengan 14.730 m³ sampah dihasilkan per hari dan 60 – 70% diantaranya merupakan sampah basah, seperti; daun – daunan, sampah dapur dan lain sebagainya. Jumlah tersebut sangat tergantung dari jumlah populasi penduduk dan pengelolaan sampah yang dilakukan, sehingga peningkatan dan/atau pertambahan penduduk di Provinsi Banten akan meningkatkan jumlah sampah yang dihasilkan, namun jumlah tersebut dapat ditekan dengan pengelolaan sampah yang baik.
Untuk wilayah pedesaan sampah belum menimbulkan persoalan karena ketersediaan lahan yang masih mencukupi, disamping daya dukung lingkungan yang juga masih memadai. Tetapi untuk wilayah perkotaan sampah sudah menjadi permasalahan yang cukup kompleks dan relatif sulit untuk di atasi, permasalahan tersebut disebabkan oleh kelangkaan dan mahalnya lahan serta budaya masyarakat yang belum terbangun dalam mengelola sampah. Sehingga sampah kemudian menjadi penyebab merosotnya kualitas lingkungan yang mengganggu atau menimbulkan masalah kesehatan masyarakat, melalui pencemaran sumber – sumber air, tanah dan udara; meningkatkan angka kepadatan vector penyakit, seperti; lalat, tikus, nyamuk dan kecoa; serta menimbulkan kesan kumuh dan kotor pemandangan kota. Sementara itu penyakit menular yang disebabkan oleh merosotnya kualitas lingkungan akibat sampah, antara lain; diare, penyakit kulit, typhus bercak wabahi (scrub typhus), demam berdarah dengue, typhus perut (demam typhoid), cacingan dan lain sebagainya.
Rendahnya kemampuan pemerintah dan kesadaran masyarakat perkotaan dalam pengelolaan sampah, telah memperburuk manajemen pengelolaan sampah perkotaan secara keseluruhan. Beberapa kasus yang terjadi pada beberapa tahun terakhir, mulai dari polemik dan persoalan yang berkepanjangan TPA Bantar Gebang Bekasi, konflik antara pemerintah dengan masyarakat di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong Bogor sampai dengan musibah di TPA Leuwi Gajah Bandung adalah gambaran buruknya manajemen pengelolaan sampah di negeri ini.
Dampak Kebiasaan Masyarakat dalam Mengelola Sampah
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia, dengan jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari – hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang dikonsumsi atau digunakan, oleh karena itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas dari pengelolaan gaya hidup masyarakat.
Gaya hidup masyarakat sangat mempengaruhi budaya dan prilaku masyarakat didalam menjalankan aktivitas sehari – hari, mulai dari pola konsumsi sampai dengan pola pengelolaan lingkungan, Pada komunitas yang tidak menganggap penting kualitas lingkungan yang ada disekitarnya, akan menyulitkan upaya – upaya penataan lingkungan, termasuk pengelolaan sampah. Padahal kualitas lingkungan suatu komunitas akan sangat mempengaruhi kualitas lingkungan yang lebih besar, yang berada disekelilingnya. Diperlukan kesadaran dan kepedulian bersama untuk dapat meminimalisasi volume sampah yang dihasilkan, dengan membangun kebiasaan – kebiasaan masyarakat dalam aktivitas mereka sehari – hari untuk melakukan upaya – upaya yang mengarah pada membebaskan lingkungan dari sampah (zero waste).
Rendahnya kesadaran tersebut dapat dilihat dari kebiasaan – kebiasaan yang lazim dilakukan masyarakat dalam memperlakukan sampah, seperti membuang sampah yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Sehingga serakan, tebaran dan timbunan sampah menjadi pemandangan yang biasa kita temukan di jalan, selokan, drainage, sungai, situ dan badan – badan air terbuka lainnya; pusat – pusat kegiatan komersial, seperti; pertokoan, pasar dan kawasan pedagang kaki lima; halaman rumah; sekolah, dan bahkan di kantor – kantor pemerintah.
Membuang sampah yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, memberikan ancaman besar pada ekosistem yang ada di muka bumi. Hamparan sampah plastik yang sudah tertimbun tanah akan membentuk lapisan kedap, yang menurunkan kemampuan tanah dalam meresapkan air, pada kemiringan tanah yang ekstrim akan mengakibatkan koefisien run off, erosi dan sedimentasi cenderung meningkat. Tingginya koefisien run off, adalah indikator dari tingkat luncuran air yang mampu mengikis lapisan tanah yang subur (top soil), terbawa oleh erosi dan menjadi sediment yang menyebabkan pendangkalan sungai, situ dan badan – badan air lainnya, membuat umur ekonomis dam atau bendungan menjadi semakin pendek, menyebabkan banjir dan akan meningkatkan biaya operasi dan pemeliharaan turbin – turbin pembangkit tenaga listrik yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab naiknya tarif dasar listrik (TDL), disamping akan menghilangkan produktivitas tanah karena punahnya kandungan unsur – unsur hara yang diperlukan tanaman.
Sampah yang terbawa di badan air pada akhirnya akan terkumpul di perairan laut sebagai TPA raksasa, yang akan mengancam ekosistem terumbu karang (coral reef) dan padang lamun (sea grass) yang berada di perairan dangkal. Tutupan sampah tersebut akan menghambat proses fotosentesis yang lambat laun akan menyebabkan kematian pada terumbu karang dan padang lamun, yang merupakan ekosistem penting bagi produktivitas ikan. Rusaknya terumbu karang dan padang lamun, pada akhirnya akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan dan pendapatan para nelayan.
Selain membuang sampah yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, kebiasaan masyarakat yang lain adalah membakar sampah sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi sampah. Pendekatan yang sama juga dianjurkan pemerintah pada industri untuk mengatasi sampah – sampah yang dihasilkan dari proses produksi, melalui proses insenerasi sampah. Padahal dalam proses insenerasi atau pembakaran sampah tersebut, akan melepaskan banyak polutan, baik ke udara maupun ke media lingkungan lainnya. Diantaranya adalah dioksin dan furan, polutan yang paling terkenal berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan secara luas, seperti: kanker, kerusakan system kekebalan tubuh, reproduksi dan permasalahan – permasalahan dalam masa pertumbuhan anak – anak.
Lebih lanjut Global Anti Incenerator Alliance (GAIA) menjelaskan bahwa insenerator juga merupakan sumber pencemaran merkuri, racun saraf yang sangat kuat dan dapat menggangu system motorik, system panca indera dan kerja system kesadaran. Disamping merupakan sumber utama polutan – polutan logam berat, seperti; timah (pb), cadmium (Cd), arsen (As) dan kromium (Cr). Polutan lain yang dihasilkan dan perlu diperhatikan antara lain; senyawa – senyawa hidrokarbon – halogen (non dioxin), gas – gas penyebab hujan asam (acid rain) dan gas – gas efek rumah kaca yang dapat mempengaruhi pemanasan global (global warming).
Sementara dioksin sendiri merupakan istilah yang umum dipakai untuk salah satu keluarga bahan kimia beracun yang mempunyai struktur kimia yang mirip serta mekanisma peracunan yang sama, antara lain; tujuh Polychlorinated Dibenzo Dioxins (PCDD), duabelas Polychlorinated Dibenzo Furans (PCDF) dan duabelas Polychlorinated Biphenyls (PCB). Dioksin bersifat ada terus menerus (persistent) dan terakumulasi secara biologi (bio accumulated) dan tersebar didalam lingkungan dalam konsentrasi yang rendah. Tingkat konsentrasinya sampai part per trillion (satu per 10 pangkat 12), terakumulasi sepanjang kehidupan dan terus ada dari tahun ke tahun.
Disamping dioksin dan furan, pembakaran sampah di dalam udara terbuka juga menimbulkan kabut asap yang tebal dan mengandung bahan partikulat – partikulat yang dapat menggangu fungsi paru – paru, yang biasanya disebut particulate matter (PM) serta bahan – bahan beracun lainnya. PM ini bisa berukuran 10 mikron (kira – kira sama dengan rambut kita yang dibelah tujuh) dan biasa disebut PM10, alat saring pernafasan kita tidak sanggup untuk menyaring PM10, sehingga PM10 masuk ke dalam paru – paru dan mengakibatkan sakit dan/atau gangguan pernafasan, seperti; astma, TBC dan penyakit paru – paru lainnya.
Masalah Kita Bersama
Apabila kita berada di ketinggian (puncak gunung atau pesawat), kita masih sering melihat kegiatan – kegiatan masyarakat yang membakar sampah, di halaman – halaman rumah dan di ladang – ladang mereka. Bisa kita bayangkan berapa banyak polusi udara yang ditimbulkan setiap harinya dari hasil pembakaran sampah, apalagi bila diakumulasikan dengan aktivitas industri dan kegiatan – kegiatan lainnya.
Dalam jangka pendek, cara – cara tersebut terlihat lebih praktis dan murah bila dibandingkan dengan harus menjalankan proses daur ulang yang panjang. Akan tetapi dalam jangka panjang, cara – cara seperti itu akan menimbulkan kerugian pada individu yang bersangkutan, komunitas dan negara secara keseluruhan. Karena akumulasi dari polusi tersebut secara perlahan – lahan akan menimbulkan efek buruk pada kesehatan manusia, yang akan mempengaruhi produktivitas kerja, menurunkan penghasilan dan harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mengobati penyakit – penyakit yang diderita akibat polusi. Secara keseluruhan negara juga dirugikan karena sebagian rakyatnya tidak bisa bekerja secara efisien, harus menyediakan anggaran untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat serta merehabilitasi kerusakan lingkungan yang sudah terjadi.
Melihat kasus yang terjadi di Amerika Serikat dengan total penduduk sebanyak 280 juta jiwa, penderita penyakit paru – paru mencapai 30 juta orang dan penyakit paru – paru merupakan penyakit penyebab kematian ke 3 di negara tersebut, dengan angka kematian mencapai 335.000 jiwa per tahun. Biaya untuk menanggulangi penyakit pneumonia, influenza, kondisi pernafasan akut dan astma mencapai 34,2 milyar dollar per tahun atau sebesar 324.900 milyar rupiah (US$1.00 setara dengan Rp. 9.500,-). Angka dalam rupiah mungkin tidak seratus persen tepat, tetapi paling tidak mendekati nilai sebenarnya, mengingat banyaknya obat – obatan dan alat – alat pengobatan yang diproduksi masih mengandung banyak komponen import yang dinilai dengan dollar. Jadi berapa anggaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mengobati penyakit yang mereka dan keluarga derita serta harus disediakan oleh pemerintah kita, karena penderita penyakit paru – paru di Indonesia jumlah lebih banyak dari yang ada di Amerika Serikat.
Artinya negara dan masyarakat dalam mengatasi berbagai permasalahan lingkungan termasuk sampah, memiliki tanggung jawab yang sama besarnya. Masalah lingkungan sebenarnya bukanlah masalah yang kompleks dan sulit untuk diatasi, kalau kita mau memperhatikannya semenjak dini. Persoalannya adalah bagaimana membangun sinergitas antar lembaga pemerintah, antara pemerintah dengan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah secara holistic, comprehensive dan terintegrasi. Menjadikan penanganan sampah sebagai kebiasaan dan kebutuhan bersama, untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat sesuai dengan Pasal 9 ayat 3 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Sehingga secara sadar menerapkan konsep produksi bersih (clean production) sebagai salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara – cara pengurangan produk – produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan dan menciptakan produk – produk dan limbah – limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Dengan menerapkan prinsip – prinsip produksi bersih dalam keseharian, yaitu; meminimalisasi penggunaan barang atau material (reduce), memakai kembali barang – barang yang bisa dipakai (reuse), mendaur ulang barang – barang yang sudah tidak berguna lagi (recycle) dan mengganti barang – barang sekali pakai dengan barang – barang yang lebih tahan lama (replace).
Tantangan bersama yang harus dihadapi ketika pengelolaan sampah dilaksanakan dengan didasarkan pada prinsip – prinsip produksi bersih, adalah harus adanya kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk menerapkan prinsip kehati – hatian dini (precautionary principle) dalam menghadapi ketidak pastian teknologi yang dipilih dalam pengelolaan sampah; prinsip pencegahan (preventive principle), yang menekankan pada pencegahan suatu bahaya adalah lebih baik dari pada mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle), dimana semua pihak yang dipengaruhi keputusan – keputusan yang diambil, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan – keputusan; dan prinsip holistic (holistic principle), yaitu perlunya suatu pendekatan siklus hidup yang terpadu untuk pengambilan keputusan masalah lingkungan.
Sehingga secara berjenjang dilakukan upaya – upaya kongkrit pengelolaan sampah yang mengarah pada membebaskan lingkungan dari sampah, dengan mengurangi sumber – sumber sampah. Di pasar para pedagang memulai mengurangi penggunaan kemasan secara berlebih yang dapat meningkatkan jumlah sampah, atau para konsumen memulai langkah – langkah pengurangan penggunaan kantong plastik untuk membawa barang belanjaannya.
Di tingkat rumah tangga, harus dilakukan peningkatan pengetahuan berkaitan dengan pengelolaan sampah rumah tangga, diantaranya untuk mengolah sampah organic, serta memulai melakukan pemilahan sampah. Dan bila memungkinkan, materi pengelolaan sampah dapat dijadikan salah satu bagian dari proses pembelajaran di sekolah, sehingga dapat semakin memperkaya pengetahuan pelajar, yang diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari.
Semua adalah pilihan – pilihan yang harus kita hadapi bersama dan menanggulanginya harus dengan kebersamaan pula, karena perbandingan antara produksi sampah kita dengan kemampuan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, seperti perbandingan antara deret ukur dengan deret hitung. Karena setiap hari selalu ada sampah yang tidak terangkut ke TPA, tidak mampu lagi untuk di kelola. Di wilayah Serang Kota yang terdiri dari 4 wilayah kecamatan dengan jumlah populasi 347.042 jiwa misalnya, produksi sampah domestic, kawasan komersial dan jalan mencapai 1.366,19 m³ per hari, sementara kemampuan Cabang Dinas Kebersihan untuk mengangkut sampah dengan menggunakan 40 truk pengangkut sampah dan dengan memperkerjakan 284 orang, hanya mencapai 20% atau hanya sebesar 276,83 m³ per hari, setelah dilakukan pemilahan sampah oleh masyarakat sebesar 30% dari sisa sampah terangkut atau sebesar 272,31 m³ per hari, masih menyisakan sampah sebanyak 635,38 m³ per hari atau sebesar 56% dari jumlah sampah keseluruhan (Sumber: Telaahan Permasalah Sampah di Kabupaten Serang, Sub Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Kabupaten Serang, 2003).
Data kualitatif di atas baru didasarkan pada kondisi sampah di 4 kecamatan di Kabupaten Serang, dari jumlah kecamatan seluruhnya sebanyak 33 kecamatan dan belum didasarkan pada data existing yang ada saat ini. Belum mempermasalahkan hasil sampah di Kabupaten Serang, apalagi di Provinsi Banten, dimana Kabupaten dan Kota Tangerang memiliki populasi penduduk sebanyak 51,20% dari jumlah penduduk di Provinsi Banten yang mencapai 8.258.055 jiwa namun dengan luas wilayah sebesar 14,62% dari luas wilayah Provinsi Banten yang mencapai 885.639 Ha (Sumber: Strategi dan Program Aksi Lingkungan Provinsi Banten, Bapedal Banten, 2005). Kita tidak mungkin membiarkan diri kita, keluarga kita dan komunitas kita kalah bersaing dengan sampah dalam menempati ruang dan lahan yang semakin lama akan semakin terbatas, lalu membiarkan provinsi ini menjadi provinsi sampah.
Sehingga membangun sinergitas antar lembaga pemerintah, antara pemerintah dengan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah secara holistic, comprehensive dan terintegrasi harus menjadi perspektif gerakan bersama untuk memerangi dan mengelola sampah.
Penutup
Bahwa berbagai aktivitas social dan ekonomi akan menghasilkan sampah, adalah realitas yang harus dihadapi dan tidak mungkin untuk dihindari. Seperti halnya upaya pembangunan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya, merubah bentang alam dan rupa bumi dengan konsekuensi menimbulkan permasalahan lingkungan adalah realitas yang juga tidak bisa kita elakan, karena pilihannya kita akan menjadi miskin. Tetapi membiarkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas kita, sama halnya dengan menggali lubang kubur kita sendiri, karena kitapun akan menjadi miskin, kehilangan daya dukung lingkungan dan harus menyediakan investasi untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan yang timbul.
Melakukan pengelolaan lingkungan tanpa didasarkan pada pengetahuan yang cukup, memiliki kemungkinan untuk memunculkan persoalan lingkungan baru dengan kualitas ancaman yang lebih besar, terhadap ekosistem dan keberlanjutan kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut upaya – upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat, baik melalui pendidikan formal maupun informal tentang pengelolaan lingkungan, menjadi pertimbangan penting untuk dilakukan.
Regulasi yang ada tidak bisa dijadikan jaminan bahwa masyarakat mau melakukan pengelolaan lingkungan, kesadaran masyarakat dan political will pemerintahlah yang diwujudkan dalam bentuk program – program aksi yang konkrit merupakan jaminan bahwa pengelolaan lingkungan akan dilaksanakan secara berkelanjutan, atau pilihannya kita hidup di atas timbunan sampah (suwung)