LATAR BELAKANG
Daerah Aliran Sungai (DAS Cidanau) merupakan DAS penting dalam konteks pembangunan ekonomi di kawasan Kota Cilegon, sentra industri dengan beberapa diantaranya secara nasional merupakan industri strategis, seperti; baja, kimia hulu dan energi listrik. Potensi sumber daya air DAS Cidanau, yang mengalir di Sungai Cidanau memiliki debit rata – rata antara 8.000 – 10.000 liter/detik pada lima tahun terakhir, bahkan pernah mencapai rata – rata 1.700 liter/detik pada tahun 1997, merupakan satu – satunya sumber air baku yang paling memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat dan industri di Kota Cilegon. Dengan wilayah tangkapan air (catchment area) seluas ± 22.620 Ha, yang mencakup kawasan Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Selain potensi air baku, di kawasan DAS Cidanau terdapat Cagar Alam Rawa Danau, kawasan konservasi endemis seluas 2.500 Ha dalam bentuk rawa pegunungan dan merupakan rawa pegunungan satu – satunya yang ada dan masih tersisa di Pulau Jawa. Kawasan tersebut ditetapkan sebagai cagar alam didasarkan pada ketetapan Gubernur Jenderal Belanda GB No. 60 Stbl, pada tanggal 16 November 1921, memiliki ± 131 species endemik ekosistem rawa yang beberapa diantaranya masuk dalam RED LIST, sehingga menarik perhatian banyak peneliti dari dalam dan luar negeri, diantaranya C. G. G. J. van Steenis orang Belanda yang mengunjungi Rawa Danau pada tahun 1936, menyatakan bahwa dipandang dari kepentingan botanis Rawa Danau adalah sebuah reservaat kelas satu, belum terhitung physiognominya yang untuk Pulau Jawa adalah uniek (sumber: C. G. G. J. van Steenis, Danau Danu laporan dari suatu perjalanan dinas ke Cagar Alam Danau Danu atau Rawa Danu di Banten).
Sementara menurut Dr. F. H. Endert, botanis Belanda yang mengunjungi kawasan Cagar Alam Rawa Danau pada tahun 1930, memiliki hypotesa bahwa di bawah existing Rawa Danau merupakan kawasan vulkanis, hypotesa tersebut menambah panjang daftar misteri yang harus mampu diungkap secara scientific, sebagai antisipasi terhadap perubahan bentuk dan bentang alam Rawa Danau sebagai reservoir dari 17 (tujuh belas) sub DAS di DAS Cidanau.
Ketergantungan yang sangat besar dari masyarakat dan industri Kota Cilegon pada sumber daya air dari DAS Cidanau dan Cagar Alam Rawa Danau yang telah mendunia, namun disisi lain rata – rata kondisi sosial ekonomi masyarakat di hulu DAS Cidanau sangat memprihatinkan. Penguasaan atas lahan yang sempit, rata – rata tingkat pendidikan yang hanya sampai tingkat pendidikan dasar, pemanfaatan lahan dengan pola – pola pertanian yang dikembangkan secara tradisional kadangkala menjadi penyebab dan alasan masyarakat di hulu DAS untuk menebang pohon di atas lahan milik mereka sendiri dan/atau di dalam kawasan Perum Perhutani (illegal logging). Selain penebangan pohon dan perambahan, pengembangan pola – pola pertanian secara tradisional, menjadi penyebab rusaknya tata air (hydroorologis) DAS Cidanau yang kemudian menyebabkan tingginya run off, erosi dan tingkat sedimentasi di DAS Cidanau.
Rusaknya tata air DAS Cidanau, tidak saja mengancam keberlanjutan ketersediaan air untuk mendukung proses pembangunan di Kota Cilegon, tetapi juga mengancam eksistensi Cagar Alam Rawa Danau yang juga berfungsi sebagai reservoir DAS Cidanau. Ancaman terhadap dua hal tersebut, tidak saja akan menimbulkan kerugian secara ekonomi tetapi juga merupakan kerugian besar untuk bidang ilmu pengetahuan.
Atas dasar hal – hal itulah kemudian muncul perspektif untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara masyarakat di hulu dengan di hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, salah satu upaya untuk membangun keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat di hulu, sekaligus sebagai upaya untuk dapat mewujudkan pelestarian dan kelestarian DAS Cidanau.
Membangun keseimbangan tersebut menjadi penting untuk dilakukan, agar masyarakat di hulu tetap dapat memanfaatkan sumber daya alam yang mereka miliki, dengan tetap mempertahankan tegakan hutan. Untuk itu diperlukan upaya dan strategi komprehensif, agar kegiatan ekonomi masyarakat dilakukan tanpa harus menurunkan kualitas lingkungan yang berdampak pada rusaknya tata air DAS Cidanau. Salah satu perspektif yang kemudian dikembangkan adalah masyarakat hilir sebagai pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau dalam bentuk air, membayar jasa lingkungan yang dimanfaatkannya kepada masyarakat di hulu sebagai produsen (seller) jasa lingkungan DAS Cidanau. Untuk itulah kemudian ”Upaya Pelestarian DAS Cidanau dengan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan” diperlukan untuk memperkuat berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, karena lahan kritis di DAS Cidanau sudah mencakup kawasan seluas ± 4.315,97 Ha yang tersebar dihampir seluruh sub DAS Cidanau.
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari kegiatan ”Upaya Pelestarian DAS Cidanau dengan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan” adalah untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara masyarakat di hulu dan di hilir DAS Cidanau, dalam rangka menjaga pelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan ketersediaan air di DAS Cidanau.
Tujuan dari kegiatan ”Upaya Pelestarian DAS Cidanau dengan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan”, sebagai berikut: 1. Membangun keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi di DAS Cidanau; 2. Membangun dan merehabilitasi hutan dan lahan di DAS Cidanau; 3. Membangun akses masyarakat di hulu DAS untuk upaya meningkatkan kesejahteraannya dan 4. Menggalang partisipasi pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau untuk terlibat dalam berbagai upaya pelestarian di DAS Cidanau;
KONSEP DASAR JASA LINGKUNGAN
Jasa lingkungan adalah fungsi yang mengatur ekosistem alamiah dan sistem pertanian yang membantu ”memelihara” atau meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat, dengan tujuan untuk membangun mekanisme yang dide-sain untuk mengontrol dan mengatasi penebangan hutan (deforestasi); serta merupakan strategi yang diaplikasikan untuk meningkatkan pendapatan pemilik hutan, sehingga mereka lebih kompetitif bila dibandingkan dengan alternatif penggunaan lainnya.
Sistem pembayaran jasa lingkungan merupakan mekanisme pembayaran (yang dibangun dalam kerangka kerja hukum, kelembagaan, teknis dan operasional) bagi pemilik hutan untuk jasa lingkungan yang dihasilkan oleh lahan mereka, ketika mengadopsi sistem tata guna dan produksi yang ramah dengan lingkungan; dan mekanisme pembayaran kepada pemilik hutan atas jasa – jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan mereka. Dengan estimasi pembayaran jasa lingkungan sebesar nilai antara biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani (dengan memperhatikan batasan – batasan yang boleh atau tidak boleh dilakukannya) dengan jumlah yang ingin beneficiaries bayarkan untuk jasa lingkungan yang dirasakannya
Tipologi mekanisme pembayaran jasa lingkungan, dapat dilaksanakan secara langsung oleh pemanfaat jasa lingkungan kepada produsen jasa lingkungan atau dengan difasilitasi oleh lembaga lain, baik oleh lembaga swadaya masyarakat ataupun lembaga yang dibangun dan dibentuk oleh stakeholder yang terlibat untuk tujuan tersebut.
UPAYA PENANGANAN DAS CIDANAU
Fungsi DAS memiliki beragam definisi tergantung situasi dan pemangku kepentingan yang terlibat, walaupun penelitian, proyek dan diskusi tentang pengelolaan DAS telah berlangsung lebih dari satu abad, kriteria dan indikator fungsi hidrologis suatu daerah tangkapan air masih terus diperdebatkan.
Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS, untuk: 1. Mengalirkan air; 2. Menyangga kejadian puncak hujan; 3. Melepas air secara bertahap; 4. Memelihara kualitas air; dan 5. Mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor).
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di DAS Cidanau, stakeholder yang terlibat dalam penanganan dan pemanfaatan DAS Cidanau, telah melakukan hal – hal sebagai berikut:
Membentuk Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC)
FKDC dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor: 124.3/Kep.64 – Huk/02 tanggal 24 Mei 2002, dengan tujuan untuk membangun integrated management berdasarkan one river, one plan dan one management dalam melakukan pengelolaan DAS Cidanau. Stakeholder yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang berasal dari Propinsi Banten, Kabupaten Serang dan Pandeglang serta Kota Cilegon.
Melaksanakan berbagai program pemberdayaan dan rehabilitasi hutan serta lahan;
Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau sudah melaksanakan berbagai kegiatan dalam kerangka pelestarian DAS Cidanau, sesuai dengan kapasitas, tugas, pokok dan fungsinya masing – masing. Beberapa perubahan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi mulai dirasakan oleh masyarakat akan tetapi tingkat kemajuannya masih sangat rendah belum sebanding dengan laju degradasi lingkungan yang terjadi di DAS Cidanau.
Membangun dan mengembangkan hubungan hulu - hilir;
Konsep ini baru mulai dibangun dan dikembangkan sejak tiga tahun terakhir, dimulai dengan belajar dari keberhasilan Costa Rica membangun hutan dengan mekanisme ini sampai dengan upaya implementasi succes strory Costarica di DAS Cidanau, dengan dukungan dari LP3ES dan International Institut for Environment and Development (IIED). pt. Krakatau Tirta Industri (KTI) merupakan pioneer yang mendorong konsep hubungan hulu – hilir dapat diimplementasikan di DAS Cidanau, dengan membayar secara sukarela jasa lingkungan dari DAS Cidanau kepada masya-rakat di hulu melalui Forum Komunikasi DAS Cidanau sebesar Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh lima juta rupiah) per tahun dengan jangka waktu perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun.
Dana yang diterima dari KTI kemudian oleh FKDC dibayarkan kepada masyarakat yang membangun dan mempertahankan hutan di dua lokasi di Desa Citaman – Ciomas dan Desa Cibojong Kecamatan Padarincang, dengan lahan seluas 50 (lima puluh) hektar dengan jangka waktu perjanjian pembayaran jasa lingkungan juga selama 5 (lima) tahun.
Membentuk Lembaga Independen sebagai Pengelola Jasa Lingkungan di DAS Cidanau;
Untuk sementara pengelolaan da-na pembayaran jasa lingkungan dari KTI, dilakukan oleh Tim Adhoc sebuah lembaga yang dibentuk oleh FKDC. Disamping bertugas sebagai pengelola jasa lingkungan, Tim Adhoc juga memiliki kewajiban untuk membentuk lembaga independen yang akan mengelola pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Anggota Tim Adhoc, terdiri dari wakil pemerintah dari propinsi, kabupaten Pandeglang dan Serang, Kota Cilegon, KTI dan ketua kelompok tani yang lokasinya menjadi model pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau.
P E N U T U P
Membangun hubungan hulu – hilir dalam satu kesatuan DAS, memang masih merupakan hal baru di Indonesia, bahkan diduniapun baru dikembangkan dalam 10 – 15 tahun terakhir, sebagai bagian dari komitment masyarakat dunia untuk bersama – sama mengatasi pemanasan global (global warming) dan kerusakan lapisan ozon yang kemudian mempengaruhi iklim global yang mengancam produktivitas pertanian di banyak negara.
FKDC dengan seluruh proses yang dilakukan untuk membangun dan mengembangkan integrated management serta mengimplementasikan konsep pembayaran jasa lingkungan, sementara ini merupakan satu – satu DAS di Indonesia yang melakukan hal tersebut dan menjadi contoh banyak daerah lain di Indonesia dalam melakukan pengelolaan DAS.
Oleh karena itu sangat diharapkan, persoalan yang ada di DAS Cidanau juga menjadi persoalan seluruh stakeholder pembangunan di Banten, karena pilihannya ketika DAS Cidanau rusak, hanya mencari teknologi baru untuk menawarkan air laut (desalinasi) yang tentu memerlukan investasi sangat besar untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri di Kota Cilegon. Dampak penting yang akan timbul akibat degradasi lingkungan di DAS Cidanau, adalah terganggunya keberlanjutan ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri di Kota Cilegon, yang pada akhirnya akan berimplikasi para proses pembangunan yang sedang dilakukan (indra setiawan - photo from ReBhumi).