oleh ICHWAN SUSANTO
Sepuluh tahun lalu, Ahmad Bahrani (57), petani di Citaman, Ciomas, Kabupaten Serang, Banten, kesulitan mengajak warga mendaftarkan lahan kebun mereka dalam kontrak imbal jasa lingkungan. Kini, tidak sedikit petani yang harus antre untuk jadi peserta.
Dalam
skema kontrak itu, petani dibayar Rp 1,2 juta per hektar untuk menjaga
kerapatan vegetasi 500 tanaman per hektar di lahan mereka selama
kontrak. Mereka dibayar karena kawasan hulu terjaga lingkungannya
sehingga menjamin aliran air di Sungai Cidanau. Aliran itu memastikan
Krakatau Tirta Industri (KTI), anak perusahaan BUMN PT Krakatau Steel,
memenuhi kebutuhan air untuk kawasan industri di Cilegon.
Kontrak
imbal jasa atau transaksi saling menguntungkan itu, 10 tahun lalu,
dijembatani Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Cidanau (FKDC). Forum
terdiri dari pemerintah daerah, LSM Rekonvasi Bhumi, dan pelaku usaha.
Transaksi menjamin petani dapat insentif, sedangkan KTI terjamin stok
airnya.
Dengan antusias, Bahrani, ayah empat anak, Kamis (28/5), mengantar Kompas ke
lahan kelompok taninya, Karya Muda II. Meniti jalan setapak melalui
kandang domba, bagian dalam "hutan" begitu teduh. Tutupan pohon durian,
petai, cengkeh, dan bambu memenuhi lahan. "Di sini dulu cuma ada 1-2
tanaman dengan semak duri. Kami tanami padi gogo yang dipanen setahun
sekali," ujarnya.
Saat itu, seusai musim tanam padi, sebagian
besar laki-laki merantau ke kota, jadi kuli menanti panen. Kini, hampir
setiap saat petani ada di desa.
Bergantian,
mereka memanen cengkeh, melinjo, petai, dan durian. Bahrani, yang
memiliki 0,2 ha (2.000 meter persegi lahan), memetik 0,7 ton-1 ton buah
melinjo seharga Rp 13.000 per kilogram. Melinjo dipanen tiga kali
setahun menghasilkan Rp 7 juta sekali panen. Itu belum dari penjualan
cengkeh atau daun melinjo yang dipanen setiap saat seharga Rp 5.000 per
kg. Adapun petai berbuah tak kenal musim. Belum lagi panen durian yang
bernilai tinggi.
Berkah paling penting, warga tak lagi susah air.
Air dari Gunung Karang setiap hari lancar meski debitnya turun saat
kemarau. "Dulu, seminggu tidak hujan kami susah air," ujarnya.
Saat musim hujan, warga tak lagi takut terkena longsor dan banjir.
Namun,
keberhasilan ini tidak diraih dengan mudah. Dibutuhkan kesabaran dan
keuletan untuk menjelaskan beragam manfaat ini kepada masyarakat.
Adlani
(44), Bendahara Kelompok Tani Karya Bakti, di Desa Ujung Tebu, Ciomas,
misalnya, juga awalnya susah mengajak masyarakat. Ia sampai menjaminkan
diri agar tetangganya mau bergabung karena kontrak IJL menguntungkan
masyarakat. Anggota kelompok hanya dilarang menebang 500 pohon per
hektar. Adapun hasil buah dan kebun nonkayu masih boleh dimanfaatkan.
Jika
kontrak dilanggar satu anggota saja, perjanjian dibatalkan dan kelompok
tak dibayar. Itu membuat anggota saling mengingatkan dan bergotong
royong saat ada yang perlu dana. "Jika tanpa kontrak, setiap ada
kebutuhan pasti tebang pohon. Mudah jadi duit," kata Aldani.
Harapan dan kendala
Sekretaris
Daerah Pemprov Banten Kurdi Matin, didampingi Mahdani dari Badan
Lingkungan Hidup Banten, mengatakan, praktik IJL meningkatkan tutupan
vegetasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau. Analisis citra satelit
FKDC menunjukkan, tutupan vegetasi DAS Cidanau sebelum 2005 berkisar
20-30 persen. Kini, tutupannya 40-60 persen.
Jika DAS Cidanau
gundul akan memperparah sedimentasi di Cagar Alam (CA) Rawa Danau,
ekosistem unik sekaligus reservoir air alami. Air dari mata air di
Gunung Karang, Aseupan, dan Parakasak melewati Rawa Danau sebelum
dialirkan secara alami ke Sungai Cidanau.
"Sekitar 1.000 hektar
dari 3.542,7 hektar luas CA Rawa Danau rusak karena perambahan," kata
Dede Rusdirman, Komandan Resor I Wilayah CA Rawa Danau dan CA Tukung
Gede, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat.
Hampir
berjalan 10 tahun, IJL kini diikuti 15 kelompok tani dengan luasan 520
ha dengan nilai kontrak Rp 4 miliar hingga 2019. "Ada sekitar 30
kelompok tani yang ingin kami ikut sertakan, tetapi ada keterbatasan
dana," kata NP Rahadian, Sekretaris FKDC dan pendiri LSM Rekonvasi
Bhumi.
Ia menjelaskan, dari Rp 4 miliar nilai IJL, 88,75 persen
dari Krakatau Tirta Industri (KTI). Sisanya dari Pemprov Banten (hibah
Rp 300 juta) dan bantuan Asahimas Chemical (Rp 150 juta).
Demi
meningkatkan besaran dana yang bakal memperluas keterlibatan jumlah
kelompok tani, Rahadian berharap KTI memasukkan komponen IJL dalam
komponen jual. Kini, IJL baru masuk biaya produksi.
Manajer
Operasi KTI Raden Sugih Subagja mengatakan, sumber air satu-satunya KTI
dari Sungai Cidanau. Tak ada sungai lain yang bisa memenuhi kebutuhan
industri. Padahal, investasi di kawasan itu terus berkembang.
KTI
merasakan manfaat IJL. "Debit air stabil, tidak turun tiba-tiba. Pada
musim kemarau dan hujan tak terlalu jomplang," kata Subagja. Namun,
payung hukum IJL belum cukup kuat bagi KTI untuk menghimpun dana lebih
besar dari perusahaan atau konsumen.
Jika anggota masyarakat yang
lain masih ragu dengan IJL, tidak bagi Bahrani dan petani lain.
Pohon-pohon di Cidanau nyata menghidupi mereka.
(J GALUH BIMANTARA/DWI BAYU RADIUS)
Versi cetak artikel ini
terbit di harian Kompas edisi 22 Juni 2015, di halaman 1 dengan judul
"Pohon-pohon Kehidupan di Cidanau".
No comments:
Post a Comment