Kabarbhumi.org.-- Kerabat Bhumi, sejak tahun 2006 Lembaga Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bhumi aktif terlibat dalam upaya merehabilitasi hutan mangrove di Pesisir Teluk Banten. Wilayah pesisir merupakan daerah yang secara geografis berada di antara daratan dan lautan. Kawasan ini memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi dengan ekosistem yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, wilayah ini rentan terhadap berbagai dampak dari kegiatan yang dilakukan di daerah atas (hulu) yang terbawa aliran sungai. Semuanya tertahan di muara, atau bahkan ada yang terbawa ke laut lepas. Entah itu sampah rumah tangga, bekas buangan minyak dari perahu nelayan dan kapal-kapal yang melintas dan lain sebagainya.
Wilayah pesisir dengan ekosistem hutan mangrove (bakau atau bangko) menjadi tempat berlindung berbagai jenis anak-anak ikan sebelum mereka memasuki ekosistem perairan laut dalam. Karena itu, ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam menyangga produktivias perikanan tangkap dari laut kita. Selain itu, mangrove juga memiliki akar kokoh dan saling bertautan yang mampu menjaga kawasan pesisir dari kikisan ombak (abrasi). Pohonnya yang tegak juga mampu menjadi tembok alam (nature wall) kawasan daratan dari hempasan angin.
Kita ambil contoh Desa Lhok Pawoh, Sawang dan Desa Ladang Tuha, Pasie Raja. Dua desa di pesisir pantai barat Aceh yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Selatan. Dilaporkan WI-IP pada 2005, dua desa ini selamat dari tsunami. Di daerah pesisir Desa Lhok Pawoh terdapat padang lamun, pantai berbatu dan terumbu karang yang masih baik. Sementara di Desa Ladang Tuha ada hutan pantai yang rapat dan kompak dengan tumbuhan cemara laut (Sasuarina Equisetifolia). Pemukiman penduduk di Desa Moawo dan Desa Pasar Lahewa berada di daerah pasang surut yang dipisahkan hutan mangrove selebar 200-300 meter dengan diameter 2-10 centimeter dan kerapatan 17.000 ind/ha.
Mangrove
Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan payau atau hutan bakau. Disebut hutan payau karena hutan ini tumbuh di atas substrat (media tumbuh) yang digenangi campuran air laut dan juga air tawar. Perpaduan keduanya menjadikan air di daerah tersebut menjadi payau. Disebut hutan bakau, karena kawasan hutan itu lebih didominasi spesies bakau (Rhizopora sp).
Indonesia memiliki 202 spesies tumbuhan mangrove, dimana 43 spesies diantaranya merupakan mangrove sejati (Noor et al. 1999). Kartawinata (2013) menyatakan bahwa kekayaan jenis tumbuhan hutan mangrove relatif rendah. Jumlah spesies seluruhnya sekitar 60, dimana tercatat 38 spesies berupa pohon mangrove sejati.
Chapman (1984) seperti yang ditulis Noor et al. (1999), mengelompokan mangrove menjadi 2 kategori yaitu:
1) Flora mangrove inti, yaitu mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove yang terdiri dari spesies: Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Soneratia, Avicenia, Nypa, Xylocarpus, Deris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, dan Dolichandron.
2) Flora mangrove pheripheral (pinggiran), yaitu: flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalan formasi hutan lain. Spesies tersebut antara lain; Exoecaria agalloca, Acrosticum auerum, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tilliaceus.
Ekosistem hutan mangrove ini memiliki manfaat, fungsi serta peran dalam menyangga kehidupan. Fungsinya yaitu menjadi pelindung kawasan pemukiman penduduk dari terjangan gelombang dan angin laut. Selain itu, hutan mangrove juga menjadi tempat pemijahan ikan, udang dan biota air lainnya. Kelestarian hutan mangrove akan berdampak pada peningkatan produktivitas biota air, penyedia produk yang dapat dimanfaatkan secara langsung, seperti: kayu, kayu bakar, penyedia tanaman pangan, dan obat-obatan. Sebagaimana ekosistem hutan lainnya, mangrove juga berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan CO2 salah satu emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim dan pemanasan global, serta dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata alam dan dijadikan habitat bagi spesies fauna khas.
Teluk Banten
Wilayah pesisir dan laut Teluk Banten merupakan teluk penting di Provinsi Banten. Letaknya berada di ujung barat Pulau Jawa dengan luas wilayah permukaan 150 km² dan kedalaman rata-rata 7 meter. Ekosistem di wilayah yang termasuk administrasi Kabupaten dan Kota Serang ini memiliki banyak potensi dan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alamnya. Konflik kepentingan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Ekosistem bawah laut di Teluk Banten terdiri dari; padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove. Di kawasan Teluk Banten terdapat Cagar Alam Pulau Dua (burung), tempat singgah burung-burung migrasi dari Utara ke Selatan atau sebaliknya. Cagar Alam ini juga menjadi habitat burung-burung laut lokal.
Menilik sejarah, Teluk Banten pada abad ke-16-17 masehi merupakan perairan tempat lalu lalang kapal-kapal dagang yang mengangkut komoditas lada, gula dan beras. Kapal-kapal dagang itu berasal dari Lampung, Sukadana, Bengkulu, Solebar dan Palembang. Bahkan, para pedagang dari Portugis juga berada di antaranya. Ketika Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menguasai politik dan ekonomi di Banten, kesibukan itu mulai meredup dan berganti dengan kesibukan kepentingan VOC.
Pada era modern, Teluk Banten sempat disibukkan dengan lalu lalang pengangkut kayu dari pulau-pulau Sumatera dan Kalimantan untuk memenuhi kebutuhan papan masyarakat dan industri di wilayah Banten dan Jakarta. Pada saat itu, Pelabuhan Rakyat Karangantu menjadi salah satu pintu masuk kayu-kayu itu. Setelah kebijakan pemerintah melarang Karangantu menjadi pelabuhan kayu, aktivitas pelabuhan menjadi sepi dan hanya menyisakan aktivitas nelayan alat tangkap berbagai ukuran yang hasil tangkapannya dilelang di Pelabuhan Perikanan Karangantu.
Pembiayaan Kegiatan Penanaman Mangrove
Pembiayaan kegiatan penanaman di wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten merupakan kerjasama Rekonvasi Bhumi dengan beberapa perusahaan dari dalam dan luar negeri. Alokasi pembiayaan kegiatan penanaman di wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten diambil dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) perusahaan-perusahaan tersebut, bahkan Nippon Shokubai Co., Ltd perusahaan Jepang yang berdiri pada tahun 1941 telah merencanakan penanaman mangrove di pesisir Teluk Banten sampai dengan tahun 2024.
Kepedulian perusahaan-perusahaan tersebut pada kelestarian hutan mangrove merupakan langkah besar yang memberikan harapan baru pada upaya pelestarian hutan mangrove di pesisir Teluk Banten, yang selama ini hanya bergantung pada program-program pemerintah dan pemerintah daerah.
Konsep Penanaman dan Pengelolaan
Penanaman mangrove di wilayah pesisir Teluk Banten yang dilaksanakan selalu melibatkan masyarakat di sekitar lokasi penanaman, salah satu kelompok masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan adalah Forum Masyarakat Pemuda Pesisir Pancer (FMP3), kelompok pemuda yang berupaya untuk memanfaatkan hutan mangrove di kawasan tersebut sebagai tujuan wisata.
Periode 2006-2014 lokasi penanaman mangrove dikonsentrasikan di kanan kiri muara Kali Banten (Cengkok) dan Pesisir Teluk Banten ke arah Cagar Alam Pulau Dua di Sawah Luhur Kecamatan Kasemen Kota Serang. Kontribusi terbesar dari perusahaan yang terlibat pada penanaman di kawasan ini adalah PT. Apexindo Duta Pratama, dengan jumlah yang ditanam sebanyak 100.000 batang dan dengan bibit cadangan untuk kepentingan penyulaman sebanyak 26.800 batang, sedangkan perusahaan lain yang terlibat adalah PT. Asahimas Chemical dan PT. Pratama Abadi Industri.
Periode 2015-2020 konsetrasi penanaman mangrove dialihkan ke garis pantai Pesisir Teluk Banten di depan Kampus Politeknik Ahli Usaha Perikanan (AUP) Kampus Serang Kampung Karang Mulya Desa Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang, tepatnya dari muara Pelabuhan Perikanan Karangantu ke arah Teluk Tonjong, perbatasan antara Kota dengan Kabupaten Serang, dengan kawasan seluas ± 100 hektar. Perusahaan yang terlibat penanaman di kawasan ini, terdiri dari: PT. Chandra Asri Petrochemical, PT. Styrindo Mono Indonesia, Nippon Shokubai Co., Ltd, PT. Lurch Sira Indonesia dan PLN persero Unit Induk Distribusi Banten.
Penanaman mangrove di wilayah pesisir Teluk Banten dilakukan dengan jarak tanam 0,50 x 0,50 meter, dengan jarak tanam tersebut diharapkan mangrove yang tumbuh akan dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) angin dan gelombang, disamping berfungsi sebagai tempat anak-anak ikan berlindung dari predatornya. Berbeda dengan lokasi penanaman di sekitar muara Kali Banten dan dari muara Kali Banten ke arah Cagar Alam Pulau Dua, lokasi penanaman hampir tidak menghadapi persoalan dengan arus dan terjangan gelombang, selain kambing dan wideng. Sebagian besar lokasi penanaman mangrove di muara Karangantu ke arah Tanjung Tonjong, menghadapi tantangan alam yang sangat berat, yaitu gelombang dan sampah yang biasanya datang bulan November sampai dengan Maret (musim Barat).
Mangrove yang sudah berumur 4-6 bulan tidak mampu bertahan dari terjangan gelombang yang membawa sampah, sehingga ketika gelombang kembali ke arah laut membawa serta sebagian besar mangrove yang sudah tumbuh dengan baik, upaya penyulaman yang dilakukan berkali-kali sekalipun pada lokasi penanaman tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Untuk mengatasi hal tersebut, telah diupayakan membangun pemecah gelombang (break water) dari ban mobil bekas sepanjang 200 meter, dengan tinggi 1,50 meter dari permukaan laut. Pada awalnya pemecah gelombang dari ban mobil bekas cukup membantu tanaman mangrove bertahan dari terjangan gelombang, tetapi karena tingginya sedimen yang dibawa arus laut, kawasan di belakang pemecah gelombang menjadi cepat penuh oleh sedimen dan menggerus lumpur di bawah konstruksi pemecah gelombang, yang menyebabkan konstruksi pemecah gelombang menjadi miring dan rubuh, sehingga tanaman mangrove kembali tergerus oleh gelombang.
Upaya terakhir yang sedang dicoba adalah dengan metode cluster dan break water, penanaman mangrove dilakukan dengan berkelompok, setiap kelompok ditanam benih buah mangrove (propagule) sebanyak 500 buah, dengan luasan per kelompok berukuran 0,50 x 1 meter dan jarak antar kelompok sepanjang 1 meter. Dengan konstruksi setiap kelompok dibuatkan pemecah gelombang dan sekeliling setiap kelompok dibangun pagar bambu, pagar bambu ini dimaksudkan agar sampah yang dibawa gelombang tidak merusak benih mangrove yang sudah ditanam, sedang pemecah gelombang dari ban bekas diharapkan mampu menahan terjangan gelombang.
Seluruh kegiatan penanaman dilaksanakan oleh FMP3, yang juga merupakan lembaga masyarakat yang akan mengelola kawasan hutan mangrove di kawasan tersebut. Pada setiap kegiatan penanaman dibuat jembatan bambu untuk kepentingan pengangkutan benih atau bibit, dan untuk kegiatan monitoring dan evaluasi Rekonvasi Bhumi dan pihak perusahaan, karena lokasi penanaman berada ± 50-100 meter dari bibir pantai. Dan untuk kepentingan pengembangan ekowisata yang dikembangkan FMP3, jembatan bambu dicat warna warni, untuk menarik banyak orang untuk berwisata mangrove.
Penutup
Dari berbagai permasalahan permasalahan yang ada dan langkah upaya yang sudah dilakukan dalam menyelesaikan masalah tersebut, dengan berkoordinasi dengan para aparat pemerintah dan instansi terkait, berharap permasalahan ini akan selesai dan tidak muncul ditahun kedepannya, untuk masalah cuaca dan pasang surut yang menjadi tantangan tersendiri, karena permasalahan ini yang sangat menentukan keberhasilan kegiatan penanaman mangrove dan ditambah dengan pemeliharaan yang intensif.
Hal-hal seperti itu tentu menjadi tantangan kita semua dalam melakukan berbagai upaya konservasi, sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas lingkungan daerah pesisir, agar dukungan dari berbagai sumber daya terhadap keberlangsungan kehidupan manusia dapat terus berlanjut.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami meminta berbagai pihak, terutama pemerintah untuk bersama-sama menjaga tanaman mangrove yang kami tanam melalui sistem dan mekanisme serta aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
its a good article, lets know about mangrove at https://unair.ac.id/terancamnya-kehidupan-mangrove-sang-penjaga-ekologi-pantai/ visit us.
ReplyDelete